Kejayaan Nusantara merupakan alur sejarah yang telah terjadi jauh dimasa lampau. Kesemuanya tercatat dalam himpunan sejarah yang kita sendiri pun belum bisa membuktikannya secara nyata. Kenapa demikian? Karena terkadang di dalam proses perkembangannya, sejarah sendiri sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat kuno, klenik, tahayul, gaib atau bahkan fiksi yang tidak bisa kita buktikan secara ilmiah. Dan seiring dengan kemajuan zaman, sejarah pun telah bercampur atau bahkan sudah menjadi tidak seperti faktanya. Hal itu terjadi karena rentetan sejarah terus tersaji dalam bentuk lisan ke lisan yang akhirnya menjadikan sejarah tebagi menjadi beberapa versi (sudah tidak murni lagi). Di dalam Al-Quran sendiri banyak kisah yang mengangkat hal-hal gaib dengan tetap berkiblat pada teori Ketuhanan dan cerita mengenai mukjizat para Nabi yang harus kita imani sebagai muslim. Di sini saya akan mencoba menelisik dengan teori-teori yang saya temukan. Pertama tentang Le muria dan atlantis yang merupakan hipotesa dari Dr. Danny Hilman Natawidjaja, selaras pendapat dengan Dr. Arisiyo Santos dan Stephen Oppenheimer yang lebih dahulu menyebutkan kemungkinan tersebut. Untuk membuktikan pendapatnya, Dr. Danny Hilman dan timnya hingga saat ini sibuk menggali Gunung Padang yang menurutnya merupakan peninggalan Atlantis. Seorang tokoh lain bernama Dicky Zainal Arifin atau akrab disapa Kang Dicky sorang asal sunda memiliki keyakinan lain, menurutnya pembangun Gunung Padang adalah bangsa Lemurian. Bangsa Lemurian tersebut merupakan bangsa yang menurunkan suku-suku di Nusantara sekarang ini. Kang Dicky mendapatkan teori tersebut berdasarkan metode time travel atau ngimpleng yang tentunya akan menjadi penolakan ilmuwan-ilmuwan yang lebih mempercayai metode ilmiah untuk membuktikan suatu teori. Ada pula pendapat bahwa Le muria lebih tua dari bangsa atlantis tetapi ada juga yang berpendapat mereka ada di satu zaman, itu pun tanpa bukti nyata. Saya pun punya pengalaman, ada cerita waktu saya mendaki ke Gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah. Di daerah ngandong yakni di kawasan hutan Muria, saya bertemu dengan seseorang yang bernama Mbah Wik. Beliau tinggal di sana seorang diri kurang lebih dua puluh tahun. Di sore itu beliau bercerita tentang benua yang hilang. Menurut penelusuran gaibnya benua yang hilang itu berada di sekitar Muria yang namanya Lamoya. Beliau juga yang telah menemukan goa jepang di Muria dan makam Syekh Khasan Sadzali. Itulah awal yang menjadi ketertarikan saya untuk mencoba mencari dan menelisik tentang Muria. Saya juga banyak bertanya tentang kenapa banyak sufi-sufi Islam Timur Tengah seperti syech subakir yang meninggal di sini. Di kawasan Muria tengah dan Muria barat juga sangat terkenal dengan cerita-cerita tentang para dewa yang diyakini adalah eyang-eyang para Pandawa. Bahkan cerita itu telah berkembang turun-temurun di masyarakat. Di antara pertapaan itu juga ada yang bernama pertpaan Eyang Mada, Eyang Lokojoyo dan masih banyak lagi. Tak heran pula tempat tersebut menjadi syarat akan mistis dan terkadang dijadikan tempat bertapa bagi orang-orang yang hendak mencari keberkahan, ketenangan, ilmu, dan lain sebagainya. Kabarnya pula, orang besar di Indonesia seperti Ir. Soekarno pun pernah bertapa di situ. Ada pertanyaan yang mengganjal di hati saya, apakah benar dewa-dewa tersebut ada dalam kehidupan nyatanya di zaman dahulu dan apakah benar mereka pernah bertapa di situ? Kesemuanya hanyalah cerita rakyat yang telah diyakini begitu saja seperti legenda. Saya makin penasaran dengan semua itu sehingga mencoba mencari dan ternyata memang ada dalam buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” karya Prof. Dr. Aryso Santos, “Eden in the East” karya Stephen Oppenheimer, dan “Sejarah Gaib Pulau Jawa” karya C.W. Leadbeater. Buku “Sejarah Gaib Pulau Jawa” ini diterbitkan Pustaka Theosofi Jakarta tahun 1976, merupakan terjemahan dari buku “Occult History of Java” yang diterbitkan ta tahun 1951. Menurut Jinaradjasa, bangsa Lemuria mendiami benua Australasia (Gabungan Asia dan Australia) sekitar 1.000.000 tahun yang lalu. Nama Lemuria sendiri berasal dari seorang Naturalis bernama Scalter yang mempercayai keberadaan benua Australasia berdasarkan keberadaan Monyet Lemur yang tersebar di sepanjang kawasan Pasifik. Leadbeater menyebutkan bahwa pendatang dari Atlantis di Pulau Jawa menyembah dewa-dewa yang kejam dan menjijikan, oleh karena itu penduduk terus menerus dituntut untuk melakukan persembahan-persembahan lewat pengorbanan manusia. Ini mungkin menjelaskan adanya situs-situs punden berundak yang tersebar di Jawa, tempat persembahan kepada dewa. Dan Kota Kudus sendiri, sebelum menjadi nama Alquds oleh Syekh Ja'far Shodiq (Sunan Kudus) yakni bernama Tajug. Bukti sejarahnya adalah menara kudus dan para petapa (dewa-dewa) dalam tokoh pewayangan Jawa di rahtawu. Kepercayaan yang berkembang saat itu adalah kepercayaan terhadap dewa-dewa jahat. Di sisi lain C.W. Leadbeater juga sangat mencintai Pulau Jawa sehingga ia beranggapan bahwa hanya dengan jalan pengorbanan darah setiap hari dan pengorbanan nyawa manusia setiap minggu dan hari perayaan tertentu, pulau Jawa bisa bebas dari bencana alam. Menurutnya, kemarahan dewa ditunjukan salah satunya dengan letusan gunung berapi yang kerap terjadi di Jawa. Untuk menjaga agar sistem pengorbanan ini tetap terlaksana, ia menempatkan penjaga-penjaga gaib (hantu-hantu) di berbagai tempat di pulau Jawa, terutama di kawah-kawah dan gunung berapi. Selanjutnya sejalan dengan teori Profesor Veth, penjajahan Atlantis atas Jawa mulai berakhir ketika pulau didatangi oleh bangsa Melayu utamanya dari Kamboja. Setelah itu, Jawa mengalami kolonialisasi oleh bangsa kulit putih dari Kalinga (India), yang mana masih meninggalkan jejak hingga saat ini. Adalah jepara yang dulunya merupakan kerajaan tertua di Indonesia dengan nama Kalingga yang dipimpin oleh ratu shima Bangsa kulit putih tersebut merupakan kelompok bangsa Arya di bawah komando Chakshusha Manu dan Vaivasvata Manu yang tiba sekitar tahun 1200 SM. Awalnya pendatang Hindu ini berprofesi sebagai pedagang-pedagang yang cinta damai dan bertempat tinggal di pantai. Dan dalam sejarah Kota Kudus sebelum ada semboyan “gus jigang kudus”, Kudus sudah menjadi pusat perdagangan, lama kelamaan membentuk negeri-negeri kecil. Ketika kekuasaan mereka semakin kuat, mereka mulai memaksakan pengaruh dan penerapan hukum-hukum Hindu kepada penduduk asli pulau Jawa. Namun pengaruh Hindu tidak berhasil menghilangkan prosesi-prosesi keagamaan jahat yang selama ini dipraktikan oleh penduduk asli. Mereka tetap melakukan kegiatan tersebut secara rahasia. Karena tidak berhasil menghilangkan praktek gelap ini, Vaivasvatu Manu mengajukan kepada Raja India Karishka untuk mengirimkan ekspedisi ke Jawa tahun 78 M. Pemimpin ekspedisi itu dikenal sebagai Aji Saka. Misinya adalah memusnahkan semua upacara jahat dan kanibalisme serta menerapkan kembali berlakunya hukum dan budaya Hindu seperti sistem Kasta, vegetarisme, epos Hindu, dan abjad Jawa. Untuk melawan warisan kutukan yang dulunya disimpan Raja Atlantis di Pulau Jawa, Aji Saka menanam benda-benda yang dapat menetralisir kekuatan jahat. Dalam bahasa Jawa, benda-benda tersebut dikenal sebagai “Tumbal”. Selain itu,Aji Saka juga memindahkan gunung-gunung dan memberikan nama-nama Sansekerta pada mereka. Salah satunya adalah sebuah gunung di Jepara yang paling tinggi dan dulunya disebut Mahameru, dinamainya sebagai Mauria yang diambil dari nama Dinasti Maurya (322 SM.). Seperti dilansir di wikipedia tentang kerajaan maurya adalah indo-arya Catatan dari tiongkok mengenai sebuah semburan lumpur yang menyembur di Grobogan (sekarang ) di sebelah selatan gunung tersebut semburannya itu demikian tingginya sehingga pelaut-pelaut tersebut dapat melihatnya. Lagi di dekatnya Tuban (yang berarti “memancar”), catatan itu mengatakan bahwa ada sumur berapa mil dari pantai yang mengeluarkan demikian banyak air segar, sehingga air laut di dekatnya dapat diminum karena tak lagi asin rasanya. Aji saka memilih tempat penanaman tumbalnya yang paling penting dan paling kuat pada sebuah bukit yang rendah, bukit terakhir dari deretan bukit yang berhadapan dengan sungat Progo (Diambil dari nama daerah Praga di India). Di atas lokasi penempatan tumbal itu nantinya akian dibangun sebuah monumen luar biasa oleh dinasti Shailendra – bernama Borobudur. Tapi menurut peneliti Fahmy Basya bahwa borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman dan Indonesia adalah negeri saba' dengan didasari dalil dari AlQuran dan arkeolog. Penemuan-penemuannya semakin menguatkan teori saya bahwa Pulau Jawa mempunyai sejarah peradaban besar. Sebelum erupsi 9000 SM adalah letusan gunung Krakatau pada tahu 915 yang memisahkan kedua pulau tersebut. Sejak itu pedagang dari India dan Tiongkok mulai menggunakan selat sunda yang terbentuk di antara dua pulau. Borobudur ditemukan kembali oleh Raffles di abad-19 yang kemudian direstorasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejak itu Borobudur menjadi relik utama kaum Teosofi. Kaum yang mempercayai keunggulan ras arya ini sangat memuja Candi Borobudur, sehingga boleh dibilang mereka merupakan kelompok pertama yang mengadakan upacara Waisak di Borobudur. Leadbeater menguatkan teorinya dengan mengatakan bahwa bangsa Arya yang tiba di Jawa berusaha untuk menjaga jarak dengan penduduk asli (Lemuria/Atlantean) namun tidak begitu sukses. Pemisahan pergaulan tersebut tetap memunculkan adanya perbedaan fisik, penggunaan bahasa dan tradisi antara kalangan Aristokrat Jawa dan orang-orang desa yang tinggal di pegunungan. Apabila kita konsisten dengan konteks cerita Plato, mereka adalah penduduk dengan peradaban tinggi yang gemar melakukan banyak dosa dan kesesatan sehingga mereka mendapat hukuman dewa. Kepercayaan ini masih tersisa oleh kepercayaan penduduk Jawa yang gemar memberikan persembahan-persembahan bernama “sajen” untuk memuaskan kehendak “dewa-dewa Jahat.” Selain itu Leadbeater juga berusaha menjelaskan perilaku masyarakat Jawa yang gemar meng-kramatkan gunung-gunung dan tempat tertentu. “Dewa-dewa jahat” yang menguasai tempat tersebut harus dinetralisir dengan menggunakan tumbal. Menurutnya kepercayaan terhadap Atlantis tidak selamanya perlu dibuktikan oleh bukti-bukti fisik situs semata, keberadaan mereka juga harus ditelusuri lewat peninggalan-peninggalan non fisik seperti “okultisme hitam” warisan Imam Agung Atlantis yang selama ini masih dipraktekkan sebagian masyarakat di pulau Jawa. Entah mengapa, perilaku orang-orang yang mengkeramatkan Gunung menguatkan kepercayaan saya terhadap pandangan tersebut. Buku Sejarah Gaib Pulau Jawa tampaknya harus dibaca semua orang yang mempercayai teori atlantis di Nusantara, bahwa baik bangsa Atlantis atau Lemuria ternyata sama-sama memiliki nama yang kurang baik di kalangan orang barat yang diwakili pandangan Leadbeater. Sekeras apapun kita menyuarakan keunggulan nenek moyang kita, orang lain akan tetap membanggakan nenek moyangnya. Sejarah telah banyak dislewengkan, ditutupi, bahkan bukti-buktinya pun banyak yang dihilangkan. Pada pada zaman penjajahan, yang terparah sejarah telah banyak yang dibungkam hanya karena faktor politik. Yang ada saat ini hanyalah Nusantara gadungan yang terus hidup dan berkembang. Kondisi politik, sosial, dan budaya pun telah berubah dengan berdasar pola pikir barat. Bahkan sejarah pun bisa mereka rubah. Saya juga pernah tak sengaja melihat tayangan video di youtube tentang acara pengajian Cak Nun. Pada saat itu Cak Nun manggung di London tahun 2008. Acara tersebut diselenggarakan oleh orang yahudi, beliau bertanya tentang kantor-kantor yahudi yang menggunakan atap joglo Jawa sebagai simbolnya. Dan pertanyaan Cak Nun itu pun sekaligus menjadi bukti, apakah benar orang Yahudi adalah keturunan Jawa (Jewish). Pengurus Sinagog Ingrid Petiet adalah orang yang menyambut rombongan Cak Nun (Emha Ainun Najib) & Kiai Kanjeng. Noe Letto juga ikut dalam kunjungan tersebut. Ingrid kemudian mengajak rombongan memasuki ruangan yang mereka anggap suci. Jarang sekali tamu berkesempatan memasuki ruangan ini. Entah dengan dasar apa Ingrid mempersilakan mereka untuk mengenal tempat peribadatannya. Di ruangan ini semua pengunjung laki-laki diwajibkan memakai topi khas Yahudi, demikian juga Kiai Kanjeng kecuali Cak Nun yang tetap memakai kopyah putih khas Maiyah-nya. Ingrid menceritakan kisah tentang tiga putra Israel yakni Ibrahim, Ishak, dan Yakub, mereka bertiga dianggap sebagai cikal-bakal bangsa Israel. Yakub sering dinamai juga dengan sebutan Israel yang kemudian satu diantara dua belas anaknya terabadikan namanya sebagai identitas Yahudi yakni Jew dari nama Jehuda. Pernyataan ini segera mendapat sambutan cukup baik dari Cak Nun, bahkan dia mengungkapkan tentang perlunya sebuah riset yang serius dan komperehensif terhadap kemungkinan adanya hubungan historis antara Jawa dan Yahudi, karena kalau diucapkan, dua kata itu hampir sama secara pengucapannya. Java-Jaffa, Jawa-Jewish. Perlu diketahui bahwa kota di Israel yang menggunakan kata Jaffa sebagai wilayah-wilayah pentingnya, misal Jaffa Tel aviv dan masih banyak lagi. Cak Nun juga melontarkan beberapa hal bahwa ditemukan indikasi tentang “keterlibatan” Jawa di bagian-bagain tertentu di area Yahudi. Sebagaimana yang tertulis dalam Kamus Yahudi (Jewish Encyclopedia) dikatakan bahwa nenek moyang Yahudi (Israel) berasal dari ujung bumi pada “Pulau-pulau di Timur” (Nusantara), sehingga di Israel terdapat Kota Jaffa (Jawa). Mereka berasal dari keturunan Le Muria sebagaimana yang sering disebutkan oleh pemikir Yunani – Plato. Menurut filsuf Plato, Le Muria adalah daratan luas yang sering disebut orang Yunani sebagai Padang Elys. Orang Mesir menyebutnya Sekhet Aaru (padang Alang-alang). Yang dimaksud dengan alang-alang adalah rumput yang tumbuh di rawa-rawa. Sedangkan sekhet dalam bahasa Jawa itu rumput (suket). Gunung Muria, adalah salah satu faktor Bangsa Yahudi begitu menghormati Bangsa Nusantara, karena di wilayah Nusantara, tepatnya di pulau Jawa terdapat Gunung Muria, tempat asal Bangsa Le Muria yang agung. Suatu tempat yang dianggap paling sakral oleh Bangsa Yahudi. Nama Muria sendiri diabadikan sebagai bahasa Yahudi (Ibrani) yang artinya “Pilihan Tuhan”. Dalam kitab suci Taurat (Perjanjian Lama), nama Muria secara khusus disebut sampai tiga kali, yang semuanya terdapat dalam Kitab Kejadian dan Kitab Keluaran. Setiap berdoa, nama Muria selalu disebut umat yahudi. Mereka memandang Gunung Muria di Jawa tengah – Indonesia (Nusantara) merupakan tempat sakral yang memiliki kandungan spiritual “pusat kekuatan” bumi, seperti yang saya lansir diatas. Dalam Kitab Critias yang dituliskan oleh Plato daratan Le Muria yang digambarkan secara terperinci menurut saya adalah lereng Gunung Muria (Le Muria = Lereng Muria), yang sebagian daratannya sekarang terendam menjadi laut Jawa. Bangsa Le Muria adalah Bangsa Lereng Muria yang sekarang ada di Jawa Tengah. Seperti gambar peta selat muria yang ada di kerajaan demak bahwa muria terpisahkan oleh laut. Gunung Muria mempunyai ketinggian 1.601 meter dari permukaan laut. Puncak-puncaknya yang tertinggi antara lain : - Puncak Songolikur; merupakan puncak tertinggi di Gunung Muria. Sering juga disebut sebagai puncak Saptorenggo. - Puncak Candi Angin; tapi sampai saat ini belum ada yang tau berapa ketinggian puncak Candi Angin - Puncak Argowiloso; tapi sampai saat ini belum ada yang tau berapa ketinggian puncak Argowiloso - Puncak Argojimbangan - Puncak Abiyoso Moria (bahasa Ibrani: מוֹרִיָּה, Standar Mōriyyā Tiberias Môriyyā ; "ditahbiskan oleh TUHAN"; bahasa Arab: مروة, Marwah; bahasa Inggris: Moriah) adalah nama yang diberikan kepada sebuah jajaran pegunungan oleh Kitab Kejadian yang dalam konteksnya mengacu pada tempat di dekat pengurbanan Ishak. Secara tradisional, Moria ditafsirkan sebagai nama gunung seperti yang ada saat ini daripada sekedar nama jajarannya. Lokasi pasti yang dimaksud saat ini menjadi masalah dalam beberapa perdebatan. Nama ini juga disebut sebagai lokasi Bait Salomo dalam kitab-kitab Tawarikh di Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen. Tawarikh 3:1: "Dan Salomo mulai mendirikan rumah TUHAN di dekat di gunung Amoria, di mana TUHAN menampakkan diri kepada ayahnya, Daud, di tempat yang disiapkan Daud di tempat pengirikan Orna, orang Yebus itu. Pernyataan itu menguatkan teori Fahmy Basya bahwa Nabi Sulaiman membuat istana Tuhan di lereng gunung untuk menyaingi istana Ratu Bilqis. Dari beberapa riset yang dilakukan KH. Fahmi Basya bersama dengan Lembaga Studi Islam dan Kepurbakalaan, disebutkan bahwa sebenarnya Candi Borobudur adalah bangunan yang dibangun oleh tentara nabi Sulaiman termasuk di dalamnya dari kalangan bangsa jin. Konon, Sulaiman adalah Nabi sekaligus Raja putera Daud yang memiliki kemampuan menaklukkan besi dan juga menaklukkan gunung hingga kemudian dikenal sebagai Raja Gunung. Di Nusantara ini, yang dikenal sebagai Raja Gunung adalah “Syailendra”. Menurut DR. Daoud Yoesoef, Syailendra berasal dari kata Syaila dan Indra. Syaila = Raja dan Indra = Gunung. Dan tidak bisa dipungkiri karena di Jawa mempunyai gunung terbanyak dan aktif sampai sekarang. Tulisan ini adalah hasil pemikiran saya sendiri dari berbagai sumber dan bukti yang pernah saya temui. Bukan bermaksud untuk mencari benar atau salah, tetapi hanya untuk menghormati peradaban para leluhur .
menarik tulisannya mas, perlu diadakan penelitian dan kajian terkait teori di atas
BalasHapus